Belibis.com – Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih “Tom” Lembong dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta terkait dugaan korupsi impor gula. Keputusan ini memicu kontroversi, terutama dari pakar hukum, yang menilai vonis tersebut terlalu jauh dari esensi hukum dan terkesan dipaksakan.
Mengapa Vonis Ini Dinilai “Norak”
Hakim Dinilai Menganalisa di Luar Ranah Hukum
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut vonis ini “aneh” dan “norak.” Menurutnya, perbuatan Lembong tidak masuk kategori korupsi karena ia tidak mendapat keuntungan pribadi dari kebijakan impor gula ini.
“Karena perbuatannya bukan tindak pidana korupsi … dari perspektif pidana murni kebijakan dan pengambil kebijakan tidak bisa dipidanakan,” ujar Fickar saat dihubungi Sabtu, 19 Juli 2025.
Fickar juga mengkritisi hakim yang mengangkat isu “liberalisme ekonomi vs demokrasi ekonomi,” yang menurutnya tidak relevan dalam ranah pengadilan tipikor. Dia menilai ini menunjukkan adanya “solidaritas korps buta,” yang melemahkan independensi hakim serta menimbulkan kekhawatiran pada masa depan peradilan korupsi di Indonesia.
Tekanan Terhadap Putusan dan Buntut Banding
Pakar ini menilai majelis hakim terlalu mengikuti tuntutan jaksa meski bukti yang disajikan tidak cukup kuat. Namun, dia optimis upaya banding atau kasasi akan mengubah arah putusan.
“Saya yakin … putusan ini akan dibatalkan dan membebaskan Tom Lembong karena kebijakan tidak bisa diadili, tidak bisa dipidanakan,” lanjut Fickar.
Kronologi Putusan dan Ancaman Hukuman
Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika membacakan putusan pada Jumat, 18 Juli 2025, menyatakan Tom Lembong bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Sanksinya meliputi:
-
Penjara 4 tahun 6 bulan
-
Denda Rp750 juta, dengan pengganti enam bulan kurungan bila tidak dibayar
-
Pasal pelanggaran: UU KPK (Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Meski vonis ini dianggap sebagai salah satu putusan berat untuk kasus kebijakan impor, Fickar tetap menekankan bahwa kebijakan pemerintahan bukan ranah pidana.
Simpulan & Pandangan Reflektif
Putusan ini menggambarkan persimpangan kompleks antara hukum dan kebijakan. Vonis yang menyentuh kebijakan publik ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah setiap keputusan pejabat bisa dijerat hukum pidana? Atau apakah harus ada batas tegas antara urusan kebijakan dan pelanggaran korupsi?
Apa Selanjutnya untuk Tom Lembong?
-
Banding atau Kasasi akan jadi momen penting. Jika Fickar benar, pengadilan tinggi bisa membalikkan putusan.
-
Dampak Jangka Panjang terhadap peran hakim dalam membedakan kebijakan vs korupsi. Vonis ini bisa menjadi preseden.
-
Reformasi Hukum: Kasus ini mendorong perlunya debat dari kalangan akademisi, praktisi hukum, hingga pembuat kebijakan.
Penutup
Vonis ini menegaskan bahwa batas antara kebijakan pemerintah dan pidana korupsi semakin kabur. Bagaimana dengan Anda? Apakah kebijakan publik seharusnya bisa dipidanakan, atau ada ruang khusus di mana pejabat punya hak untuk mengambil risiko kebijakan?