Belibis.com – Jelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, jagat maya Indonesia kembali diramaikan dengan sebuah fenomena budaya pop yang cukup menggelitik. Sebuah bendera berwarna hitam dengan gambar tengkorak bertopi jerami—ikon khas kelompok Bajak Laut Topi Jerami dari serial anime dan manga Jepang One Piece—terlihat berkibar di berbagai wilayah tanah air.
Meski bukan hal baru bagi komunitas penggemar budaya Jepang atau “wibu”, kemunculan simbol fiksi ini pada momen menjelang perayaan kenegaraan memancing sorotan luas. Terlebih, hal ini berbarengan dengan peluncuran resmi logo HUT ke-80 RI oleh pemerintah, sehingga banyak pihak mulai mempertanyakan makna dan motif di balik aksi pengibaran bendera tersebut.
Ketika Simbol Pop Bertemu Momentum Nasional
Bagi sebagian orang, pengibaran bendera One Piece hanyalah bentuk ekspresi dan apresiasi terhadap karya yang mereka cintai. Namun bagi kalangan lain, terlebih mereka yang memandang perayaan kemerdekaan sebagai sesuatu yang sakral, tindakan ini dinilai tidak pada tempatnya.
Simbol Luffy dan kawan-kawan memang telah merasuk ke dalam benak jutaan penggemar di Indonesia. Namun, penggunaan simbol tersebut di tengah momen nasionalisme bisa menimbulkan kesan ambigu. Apakah ini sekadar bentuk hiburan atau ada maksud yang lebih dalam?
Respon DPR: Dugaan Ada Gerakan Terorganisasi
Pernyataan tegas datang dari Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis malam (31/7), ia menyebut adanya indikasi gerakan sistematis yang mencoba memanfaatkan simbol budaya asing untuk menggoyahkan kesatuan bangsa.
“Kami menerima laporan intelijen yang menunjukkan adanya pola terorganisir, yang mencoba melemahkan semangat kebangsaan melalui simbol-simbol semacam ini,” ujar Dasco.
Menurutnya, pengibaran simbol luar negeri, apalagi yang bukan berkaitan langsung dengan semangat nasional, bisa menjadi alat yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menciptakan disonansi sosial. Ia juga menegaskan bahwa kemajuan Indonesia saat ini bisa saja membuat negara atau kelompok lain merasa terganggu.
“Bisa jadi ada pihak-pihak yang tidak senang dengan perkembangan pesat Indonesia. Mereka mencoba mengganggu kestabilan kita melalui berbagai cara, termasuk ranah budaya,” tambahnya.
Perdebatan Publik: Antara Kebebasan dan Kepantasan
Topik ini kemudian menjadi bahan diskusi hangat di media sosial. Banyak yang membela tindakan tersebut sebagai wujud kebebasan berekspresi, terutama di kalangan muda yang melihat anime dan manga sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Namun, ada pula yang mempertanyakan sensitivitas waktu dan tempat. Mengibarkan bendera fiksi di masa menjelang peringatan kemerdekaan bisa dianggap mencederai rasa hormat terhadap perjuangan para pahlawan.
Sebagian netizen juga menggarisbawahi pentingnya edukasi publik terkait simbol-simbol kebangsaan dan bagaimana membedakannya dari ekspresi hiburan pop culture.
Apresiasi Budaya Asing: Harus Ada Batas?
Fenomena ini membuka kembali diskusi lama tentang sejauh mana budaya asing bisa diterima dalam ruang publik, terutama dalam konteks negara yang memiliki sejarah panjang perjuangan kemerdekaan.
Menghargai budaya global memang penting sebagai bagian dari keterbukaan dunia modern. Namun, harus diingat pula bahwa setiap ekspresi memiliki konteks. Apa yang terlihat lucu dan menghibur bagi sebagian, bisa terasa mengganggu bagi yang lain.
Kesimpulan: Waktu yang Tepat, Tempat yang Tepat
Pengibaran bendera One Piece menjelang HUT ke-80 RI mungkin tampak sepele di permukaan. Tapi di balik itu, tersimpan dinamika kompleks antara budaya populer, nasionalisme, dan ruang publik. Ini bukan sekadar soal bendera, melainkan tentang bagaimana masyarakat menyeimbangkan ekspresi pribadi dengan rasa hormat kolektif terhadap momen kenegaraan.
Apakah ini bentuk kreativitas atau sinyal bahaya? Semua kembali pada cara kita membaca konteks dan niat di baliknya. Yang jelas, menjaga persatuan dan menghormati simbol kebangsaan tetap harus menjadi prioritas bersama.