Kalau kita bicara soal pendidikan di Indonesia, rasanya kita nggak bisa lepas dari jejak sejarah panjang yang sudah tertanam sejak era kolonial. Saya masih ingat ketika pertama kali membaca arsip sejarah pendidikan kolonial di sebuah perpustakaan tua—bau kertas lama dan nuansa klasiknya seolah membawa saya ke masa lalu.
Zaman Belanda, pendidikan bukan untuk semua orang. Sistem pendidikan yang diperkenalkan hanya untuk kaum elite, khususnya anak-anak Eropa dan pribumi dari kalangan bangsawan. Sekolah dasar pertama yang didirikan pemerintah kolonial, Europeesche Lagere School (ELS), diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa. Lalu ada Hollandsch-Inlandsche School (HIS) untuk pribumi yang dianggap memiliki status tinggi. Sementara rakyat jelata? Jauh dari akses pendidikan.
Namun, di tengah keterbatasan itu, muncullah sosok-sosok visioner seperti Ki Hadjar Dewantara. Dengan gagasannya, beliau mendirikan Taman Siswa pada 1922—sebuah sekolah yang membuka akses pendidikan bagi rakyat biasa. “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” prinsip ini bukan hanya jadi slogan, tapi juga semangat perjuangan pendidikan nasional.
Pendidikan di Masa Kemerdekaan: Langkah Awal Menuju Akses Merata
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pendidikan menjadi salah satu fokus utama pemerintah. Sistem pendidikan nasional mulai dibentuk, meskipun masih banyak tantangan. Saya pernah mendengar cerita dari kakek saya yang dulu harus berjalan berkilo-kilometer hanya untuk bisa belajar di sekolah rakyat. Buku pelajaran pun sulit didapat, sehingga banyak siswa yang belajar dengan menyalin catatan secara manual.
Pemerintah kemudian merancang kurikulum nasional pertama pada 1950-an. Pendidikan dasar mulai diwajibkan, meskipun realitanya banyak anak yang masih kesulitan mengakses sekolah karena berbagai keterbatasan ekonomi dan geografis. Pada masa ini juga muncul banyak pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan berbasis agama, yang hingga kini masih menjadi bagian penting dari sistem pendidikan Indonesia.
Era Orde Baru: Sentralisasi dan Standarisasi Pendidikan
Masuk ke era Orde Baru, sistem pendidikan mulai lebih terstruktur. Pada tahun 1973, program Wajib Belajar 6 Tahun mulai diterapkan, yang kemudian diperpanjang menjadi Wajib Belajar 9 Tahun pada 1994.
Saya ingat cerita ayah saya tentang sekolahnya pada era ini—segalanya harus seragam, dari kurikulum, buku pelajaran, hingga cara guru mengajar. Pendidikan menjadi sangat sentralistik, dengan kurikulum yang lebih menekankan pada disiplin dan nasionalisme.
Namun, di balik ketertiban ini, ada sisi lain yang cukup menyedihkan: kreativitas kurang berkembang. Metode pembelajaran cenderung kaku, berbasis hafalan, dan sedikit ruang untuk berpikir kritis. Tapi, untuk pertama kalinya dalam sejarah, angka partisipasi sekolah meningkat drastis. Banyak sekolah baru dibangun, dan tenaga pengajar pun semakin banyak disiapkan.
Reformasi dan Awal Pendidikan Modern
Saat reformasi 1998 mengguncang Indonesia, dunia pendidikan pun ikut mengalami perubahan besar. Sentralisasi pendidikan mulai dikurangi, dan kebijakan desentralisasi diterapkan. Artinya, daerah punya lebih banyak wewenang dalam mengatur pendidikan mereka sendiri. Ini adalah titik awal dari berbagai perubahan yang lebih fleksibel dalam sistem pendidikan.
Saya masih ingat bagaimana kurikulum berganti-ganti dalam beberapa tahun setelah reformasi. Dari Kurikulum 2004 (KBK), lalu berubah menjadi Kurikulum 2006 (KTSP), hingga Kurikulum 2013 yang lebih berorientasi pada kompetensi. Sistem pendidikan menjadi lebih dinamis, meskipun di sisi lain banyak guru dan siswa yang merasa kewalahan dengan perubahan yang terlalu cepat.
Pendidikan di Era Digital: Transformasi atau Tantangan?
Masuk ke era digital, pendidikan di Indonesia mengalami lompatan besar. Dengan adanya internet dan teknologi, akses ke informasi menjadi lebih mudah. Sekarang, belajar nggak lagi terbatas di dalam kelas. Banyak platform e-learning bermunculan, seperti Ruangguru dan Zenius, yang membantu siswa belajar dengan lebih fleksibel.
Tapi, nggak semua cerita tentang pendidikan digital itu indah. Saya pernah berbincang dengan seorang guru di pedesaan yang mengeluhkan betapa sulitnya menerapkan sistem pembelajaran daring di daerah yang masih minim akses internet. Siswa di kota mungkin bisa belajar lewat video dan kuis online, tapi di pelosok, masih banyak yang harus berbagi satu buku untuk satu kelas.
COVID-19 juga mempercepat adopsi pembelajaran daring, tapi sekaligus menyoroti ketimpangan akses pendidikan di Indonesia. Pemerintah berusaha mengatasi ini dengan program digitalisasi sekolah, tapi tantangannya masih besar: infrastruktur, pelatihan guru, hingga kesiapan siswa dan orang tua dalam mendukung pembelajaran digital.
Masa Depan Pendidikan Indonesia: Harapan dan Tantangan
Lantas, ke mana arah pendidikan kita ke depan? Saya percaya, pendidikan di Indonesia masih terus berkembang, tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
- Pemerataan Akses Pendidikan
Meski sudah ada program wajib belajar, masih banyak daerah terpencil yang kekurangan fasilitas pendidikan. Pemerintah perlu lebih fokus pada pembangunan sekolah dan peningkatan kualitas guru di daerah-daerah ini. - Kurikulum yang Adaptif
Kurikulum yang terlalu sering berubah bisa membingungkan. Yang kita butuhkan adalah kurikulum yang lebih adaptif dan fleksibel terhadap perkembangan zaman tanpa terlalu sering mengalami revisi besar. - Integrasi Teknologi dalam Pendidikan
Teknologi bisa menjadi alat yang luar biasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tapi harus diimbangi dengan kesiapan infrastruktur dan pelatihan bagi guru dan siswa. - Pendidikan Karakter dan Keterampilan Abad 21
Selain akademik, pendidikan harus fokus pada pembentukan karakter, kreativitas, dan keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, kerja sama, dan literasi digital.
Seperti yang sering saya katakan kepada teman-teman saya: pendidikan itu bukan hanya soal sekolah, tapi soal bagaimana kita terus belajar sepanjang hayat. Dan untuk Indonesia, perjalanan pendidikan kita masih panjang, tapi saya yakin kita sedang menuju arah yang lebih baik.
Jadi, bagaimana pengalaman pendidikan kalian? Apakah kalian pernah merasakan perubahan dari satu era ke era lain? Saya ingin mendengar cerita kalian!