Belibis.com – Amerika Serikat tengah menghadapi tantangan besar terkait tren penurunan angka kelahiran. Pemerintahan Presiden Donald Trump dilaporkan sedang mengkaji rencana pemberian insentif tunai sebesar 5.000 dolar AS—setara dengan sekitar Rp84 juta—bagi setiap bayi yang lahir.
Langkah ini diusulkan sebagai respons terhadap penurunan tingkat kesuburan yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Meskipun sempat mengalami peningkatan pada tahun 2021, tren tersebut kembali menurun secara signifikan, mengikuti pola yang telah terbentuk sejak resesi besar tahun 2008.
Tingkat Kesuburan AS Terus Menurun
Menurut data terbaru, angka kesuburan di Amerika Serikat pada tahun 2023 hanya mencapai 1,62 kelahiran per perempuan. Angka ini jauh di bawah angka ideal 2,1 yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan populasi.
Pemerintah melihat insentif finansial sebagai salah satu solusi untuk mendorong lebih banyak warga menikah dan memiliki anak. Selain pemberian tunai, usulan lainnya mencakup perluasan kredit pajak anak dan program kesadaran akan pentingnya kesuburan.
Presiden Trump pun menanggapi ide ini secara positif. “Kedengarannya seperti ide yang bagus bagi saya,” ujarnya dalam sebuah pernyataan.
Apakah Insentif Rp84 Juta Cukup untuk Dorong Kelahiran?
Bagi banyak calon orang tua, tambahan dana sebesar Rp84 juta tentu sangat membantu. Uang tersebut dapat digunakan untuk menutupi biaya persalinan, membeli perlengkapan bayi seperti tempat tidur dan kereta dorong, hingga kebutuhan pokok seperti popok.
Namun, banyak pihak mempertanyakan apakah insentif ini cukup untuk mendorong keputusan besar seperti menikah atau memiliki anak. Biaya membesarkan anak di AS sangat tinggi dan jauh melampaui nilai insentif yang diusulkan.
Menurut laporan dari Brookings Institution, pasangan berpenghasilan menengah diperkirakan harus mengeluarkan sekitar 310.000 dolar AS (sekitar Rp5 miliar) untuk membesarkan satu anak hingga usia 17 tahun.
Tantangan Ekonomi dan Sosial Pengaruhi Keputusan Memiliki Anak
Selain biaya hidup, banyak pasangan muda juga menghadapi kendala lain seperti mahalnya sewa rumah, biaya pengasuhan anak yang tinggi, serta ketidakpastian ekonomi. Faktor-faktor ini mendorong mereka untuk menunda bahkan menghindari rencana memiliki anak.
Menurut Leslie Forde, pendiri Mom’s Hierarchy of Needs LLC, sistem pengasuhan anak di AS juga belum memadai. “Tidak cukup dana dalam sistem pengasuhan anak. Orang tua kesulitan membiayainya, dan pengasuh anak sering kali menerima upah di bawah standar,” ujarnya.
Krisis Dukungan untuk Ibu Bekerja dan Tingkat Kematian Ibu Tinggi
Isu lain yang turut menjadi sorotan adalah kurangnya dukungan terhadap ibu pascamelahirkan. Banyak perempuan harus kembali bekerja terlalu cepat karena tidak adanya cuti melahirkan yang memadai.
Kondisi ini diperburuk oleh fakta bahwa AS memiliki tingkat kematian ibu tertinggi di antara negara maju. Perempuan kulit hitam bahkan tiga hingga empat kali lebih berisiko meninggal akibat komplikasi kehamilan dibandingkan perempuan kulit putih.
Menurut data tahun 2022 yang dipublikasikan di BMJ, tercatat sekitar 22 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup di AS. Masalah ini dikaitkan dengan kurangnya dana pada layanan kesehatan masyarakat, rasisme sistemik, dan absennya kebijakan federal yang efektif.
Kesimpulan: Insentif Finansial Saja Tidak Cukup
Pakar kebijakan kesehatan, Kavelle Christie, menilai bahwa solusi atas menurunnya angka kelahiran bukan hanya soal pemberian uang tunai. Menurutnya, perlu ada pendekatan menyeluruh yang mencakup reformasi sistem kesehatan dan kebijakan sosial.
“Jika kita ingin serius menanggulangi penurunan angka kelahiran, kita harus memperkuat infrastruktur kesehatan masyarakat yang memungkinkan kehamilan dan persalinan yang aman,” tegasnya.
Langkah pemerintah AS dalam mengusulkan insentif Rp84 juta mungkin menjadi awal, tetapi tantangan jangka panjang dalam membesarkan anak dan ketimpangan sistemik tetap harus ditangani secara lebih mendalam.