Belibis.com – Di suatu pagi yang cerah, Pak Jaya menggali tanah di kebun kecil warisan orang tuanya. Ia tak berharap banyak—paling tidak, mungkin sisa paku karatan atau pecahan seng bekas yang bisa dijual ke loak buat beli beras. Tapi hari itu berbeda. Cangkulnya menghantam sesuatu yang keras dan mengilap. Bukan batu, bukan kayu. Emas.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Wajah Pak Jaya seketika berbinar. Mungkin inilah rezeki nomplok yang diceritakan orang-orang. Tapi harapan itu tak berumur panjang. Tak lama, rumahnya dikelilingi garis polisi. Sejumlah petugas datang dengan wajah kaku dan satu kalimat pamungkas:

“Pak, ini bukan milik Anda. Ini milik negara.”

Pak Jaya hanya bisa menatap tanahnya sendiri sambil mengangguk. Dalam hati, ia bergumam, “Tanahku milikmu, isi tanahnya juga milikmu. Terima kasih, Indonesia.”

Tentang Emas dan Harapan Rakyat Kecil

Di negeri yang katanya kaya sumber daya, rakyat kecil seperti Pak Jaya hanya bisa menanam, tapi tak berhak memanen. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Sayangnya, definisi “rakyat” itu seringkali terasa abstrak ketika tambang dibuka tapi kampung tetap gelap.

Jika seseorang menemukan emas di tanahnya sendiri tanpa izin tambang, ia bisa jadi tersangka. Ilegal. Mengganggu kepentingan nasional. Karena emas bukan milik siapa pun… kecuali negara.

Tapi Jika yang Tumbuh adalah Ganja…

Aneh bin ajaib, perlakuan hukum bisa berbeda 180 derajat jika yang muncul dari tanah bukan logam, tapi tanaman. Misalnya ganja. Bila tanaman itu tumbuh di kebun Pak Jaya, mendadak statusnya berubah: itu milik pribadi.

Bukan negara yang datang mengklaim, tapi aparat yang datang menangkap. Bukan karena menguntungkan, tapi karena dianggap berbahaya. Tak peduli apakah ia tahu atau tidak, sengaja atau tidak. Sekali ganja tumbuh, tanggung jawab penuh ada di pundaknya.

“Tanahmu, tanamannya, dan hukumannya… milikmu.”

Lucu ya? Emas yang membuat kaya harus diserahkan. Tapi ganja yang bisa membuat masuk penjara, itu sepenuhnya tanggung jawabmu.

Kepemilikan yang Bersyarat

Kisah ini bukan cuma soal hukum, tapi tentang rasa memiliki yang penuh syarat. Kita boleh punya tanah, tapi tidak boleh merasa terlalu memiliki. Karena bisa jadi, di dalamnya ada sesuatu yang “lebih berhak” diambil orang lain.

Dan jika tanahmu menyimpan sesuatu yang bernilai strategis, bersiaplah: bukan kamu yang untung, tapi kamu yang digusur. Demi izin, demi investasi, demi pembangunan.

Logika yang Tumbuh Subur

Beginilah wajah logika di negeri ini. Kita diajari untuk bangga dengan kekayaan alam, tapi dilarang terlalu dekat dengannya. Kita diajari untuk mencintai tanah air, tapi juga harus siap ketika tanah itu mendadak bukan milik kita.

Jadi kalau suatu hari kamu menemukan sesuatu yang berharga di kebunmu, jangan bahagia dulu. Bisa jadi itu awal dari masalah panjang. Dan jika yang tumbuh malah ganja liar karena biji terbawa angin? Semoga kamu cukup kuat untuk menjelaskan semuanya di pengadilan.

Penutup: Negara, Tanah, dan Warga yang Bingung

Negaraku, negeri agraris yang logikanya subur. Di mana harapan rakyat kecil bisa tumbuh di tanah yang bukan sepenuhnya miliknya. Di mana hukum bisa sangat luwes saat menyentuh urusan negara, tapi kaku luar biasa saat menyentuh rakyat.

Emas di tanahmu? Bukan milikmu.
Ganja di tanahmu? Itu urusanmu.

Begitulah cinta tanah air, versi kita.